Pulau Nias adalah sebutan untuk pulau dan kepulauan yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra, Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pulau ini merupakan pulau terbesar di antara gugusan pulau di pantai barat Sumatra, dihuni oleh mayoritas suku Nias.
(Tano Hina,bahasa Nias) adalah sebutan untuk Pulau Nias. Banyak menyimpan keindahan dari segi budaya yang masih sangat kental dan juga keunikan. Tradisi yang di wariskan kepada masyarakat Pulau Nias menjadi budaya yang sangat unik dan perlu kita ketahui.
Sejarah Pulau Nias
Baca juga : Suku Di Papua : Keberagaman Suku-Suku Di Papua
Dalam suatu penelitian arkeologi disebutkan bahwa Pulau nias sudah dihuni sejak 12.000 tahun yang lalu oleh imigran dari Asia. Namun demikian, penelitian lain menyebutkan kelompok etnis Nias atau yang menamakan diri Ono niha (anak manusia), sudah menetap di wilayah tersebut 700 tahun lalu. Catatan tentang Nias dapat ditemukan dari tulisan tahun 150 Masehi, saat menyebutkan Pulau-pulau Barus, dengan Nias sebagai pulau terbesar. Memasuki abad ke-7 Masehi, pulau di barat Sumatera, termasuk Nias, sudah dikenal oleh pedagang asing baik dari Tiongkok amaupun Arab.
Adapun penulisan spesifik tentang Nias berasal dari seorang pedagang Persia bernama Sulayman yang berkunjung ke Nias pada tahun 851. Dalam perjalanannya, Nias banyak berinteraksi dengan peradaban luas, seperti dari Tiongkok hingga Aceh. Diketahui, pada abad ke-15, Kesultanan Aceh menguasai wilayah Nias sehingga terjadi akulturasi budaya di sana. Keberadaan Nias juga diperhitungkan oleh VOC. Terbukti, pada tahun 1688 VOC menjalin kontrak dagang dengan suku-suku di Nias. VOC bahkan mendirikan perwakilan dagangnya di Nias, tepatnya di Gunungsitoli. Di sana juga dibangun pelabuhan dan bangunan berfungsi gudang.
Kebudayaan Di Pulau Nias
1.Hombo batu (lompat batu)
Hombo batu (lompat batu) dilakukan sejak jaman para leluhur dimana jaman dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri mereka agar kuat dan mampu menembus benteng lawan yang konon cukup tinggi untuk dilompatinya. Seiring berkembangnya jaman tradisi ini berubah fungsinya. Sekarang lompat batu sudah tidak mereka gunakan untuk berperang lagi melainkan untuk ritual dan sebagai simbol budaya orang Nias. Tradisi ini diadakan untuk mengukur
kedewasaan dan kematangan seorang lelaki di Nias sekaligus ajang menguji fisik dan mental para remaja di Nias menjelang usia dewasa. Tradisi lompat batu dilakukan pemuda Nias untuk membuktikan kalau mereka diperbolehkan untuk menikah. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 meter dengan lebar 90 centimeter dan panjang 60 centimeter. Para pelompat melompati Batu besar itu melalui pijakan batu kecil sebelum melompati batu peninggalan masa lalu tersebut.
2.Tari Maena
Tari Maena merupakan tarian yang sangat simpel dan sederhana tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan yang tak kalah menariknya dengan tarian – tarian yang ada di nusantara. Namun ada sedikit kesulitan pada tarian ini yaitu terdapat rangkaian pantun (fanutuno maena) sesuai dengan event tarian maena dilakukan.
3.Tari Mogaele
Hilinawalö Fau memiliki kinerja tarian tradisional yang unik. Ini tarian tradisional sangat menarik dan meninggalkan kesan baik bagi orang yang mengunjungi Hilinawalö Fau. Tarian ini merupakan bagian dari Tradisi Hilinawalö Fau. Biasanya dilakukan dalam upacara tradisional atau penyambutan besar juga untuk menyambut para bangsawan yang dihormati. Tarian ini bercerita tentang keindahan dunia ini masih bersatu dan penuh dengan perdamaian. Tari dilakukan oleh perempuan disebut Mogaele. Orang-orang yang melakukan tindakan memerangi menggunakan alat menandai perang aksi perang di zaman dahulu kala ketika setiap desa sering berperang. Hal ini disebut Tarian Perang (War Dance). Dalam ini menunjukkan disertai dengan musik khas Hilinawalö Fau-Nias Selatan.
4.Tari Perang (Foluaya)
Tari perang atau Foluaya merupakan lambang ksatria para pemuda di desa–desa Nias untuk melindungi desa dari ancaman musuh yang diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ronda atau siskamling. Pada saat ronda jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja, hal ini sudah tidak dilakukan lagi karna sudah tidak ada lagi perang suku di Nias. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aehohoi” yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak dan menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman, sambil membentuk tarian Fadohilia lalu menyerahkan binu itu kepada raja.
Kesimpulan
Pulau Nias merupakan pulau yang kaya akan tradisi, budaya dan keunikan yang perlu kita ketahui dan di lestarikan. Perlu kita ketahui bahwa pulau nias juga bisa di kunjungi untuk menjadi destinasi wisata karena nias banyak menyimpak keindahan.